Salam sukses guru Indonesia, jika dalam artikel model-model pembelajaran (seri I) kita sudah membahas model-model pembelajaran listening Team dan point conterpoint, nah sekarang kita akan membahas model-model pembelajaran inovatif yang lain yaitu Snowball Drilling dan Make A Match. selamat membaca dan mencoba, saya jamin pasti menarik….
3. Snowball Drilling
Metode drill masih memberikan peran besar bagi guru dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa hanya menjadi objek pembelajaran. Interaksi yang terjadi hanya antara guru dan siswa, sementara interaksi antara siswa dan siswa diabaikan. Proses interaksi demikian tidak jarang menimbulkan perasaan takut pada diri siswa. Beban psikis bertambah berat jika siswa tidak mampu menjawab pertanyaan dengan benar yang diberikan oleh gurunya.
Interaksi belajar mengajar dengan menggunakan metode drill bersifat mekanis. Proses interaktif itu tidak memberi peluang kepada siswa untuk menemukan sendiri informasi. Informasi adalah pemberian guru. Pengetahuan siswa adalah bentukan guru. Proses belajar mengajar seperti itu tidak menciptakan dinamika siswa dalam belajar. Pembelajaran seperti itulah yang dikatakan Paulo Freire sebagai pembelajaran gaya bank atau banking concept of education. Guru merupakan investor, pengetahuan guru adalah modal investasi, dan siswa adalah rekening koran yang mencatat setiap transaksi investasi yang dilakukan guru.
Metode drill selain berdampak negatif pengembangan aspek sosial dan psikologis seperti disampaikan di atas, metode ini juga tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan nilai-nilai moralitas. Hal itu terlihat dalam aspek penilaian. Penilaian mutlak dilakukan guru, sementara siswa hanya menerima jadi. Nilai yang diterima itu sebagai bentuk “putusan” sebagaimana seorang hakim menjatuhkan vonis kepada terdakwa. Siswa tidak memperoleh kesempatan untuk menilai proses dan hasil kerjanya sendiri. Jika siswa mendapat kesempatan menilai sendiri banyak manfaat yang diperolehnya. Setidaknya, siswa dapat mengembangkan aspek-aspek moralitas. Dengan menilai sendiri siswa dapat mengetahui dan memahami sampai di mana suatu pengetahuan itu dikuasai. Kesempatan menilai sendiri memberi pembelajaran kepada siswa untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan yang ada pada dirinya. Jadi, menilai sendiri adalah belajar untuk jujur.
Metode drill mengakibatkan iklim pembelajaran tidak menyenangkan perlu diperbaiki. Perbaikan tentu ditujukan kepada terciptanya efektivitas metode drill. Metode drill mampu menciptakan kondisi motivasional atau medan psikologis/emosi yang positif, sehingga metode tersebut dapat menarik perhatian siswa belajar, menumbuhkan percaya diri, dan kepuasan dalam diri siswa terhadap hal yang dipelajarinya.
Metode snowball drilling, begitu nama yang diberikan atas metode yang dihasilkan dari modifikasi metode drill. Istilah itu tidak dikenal dalam literatur metode-metode pembelajaran. Selama ini yang tertulis dalam literatur metode pembelajaran adalah snow balling. Metode snowball dipergunakan untuk mendapatkan jawaban yang dihasilkan dari diskusi siswa secara bertingkat. Dimulai dari kelompok kecil kemudian dilanjutkan ke kelompok besar sehingga akhirnya akan memunculkan dua atau tiga jawaban yang telah disepakati oleh siswa secara berkelompok. Metode itu akan berjalan dengan baik jika materi yang dipelajari menuntut pemikiran yang mendalam atau menuntut siswa berpikir analisis bahkan sintesis.
Berbeda dengan metode snowball, metode snowball drilling tidak dipakai dalam konteks diskusi, melainkan pemberian informasi sebanyak-banyaknya melalui latihan soal-soal. Snowball drilling bukan untuk pembelajaran berbasis masalah melainkan materi-materi yang bersifat faktual. Perbedaan lainnya, istilah snowball tidak menggambarkan proses diskusi dari kelompok kecil menuju kelompok besar, melainkan kecepatan suatu kelompok menyelesaikan paket soal dengan benar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya pada suatu putaran. Semakin cepat paket soal itu dijawab dengan benar pada suatu putaran, semakin besar kesempatan kelas tersebut mendapat paket soal berikutnya.
Metode snowball drilling pada dasarnya sama dengan metode drill. Persamaan itu terletak pada pijakan konstruksi teori yang digunakan yaitu keduanya berdasarkan pada behaviorisme. Perbedaan antara metode drill dan snowball drilling terletak pada pola interaksinya. Metode drill memposisikan guru sebagai subyek dan siswa sebagai objek, sehingga interaksi yang terjadi hanya antara guru dan siswa. Dalam metode snowball drilling posisi guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai subyek, sehingga pola interaksi yang terjadi adalah antara guru dan siswa, serta siswa dengan siswa. Perbedaan lain antara kedua metode adalah aspek teknis perolehan informasi. Informasi yang diperoleh siswa dalam proses interaktif dengan menggunakan metode drill diperoleh melalui pemberian guru, sementara informasi yang didapat siswa dalam proses interaktif dengan menggunakan metode snowball drilling diperoleh siswa melalui pendekatan trial and error.
Dalam penerapan metode snowball drilling, peran guru adalah mempersiapkan paket soal-soal dan lembar skoring penilaian yang dibagikan kepada siswa serta menggelindingkan bola salju berupa soal latihan dengan cara menunjuk/mengundi untuk mendapatkan seorang siswa yang akan menjawab soal nomor 1. Jika siswa yang mendapat giliran pertama menjawab soal nomor tersebut langsung menjawab benar maka siswa itu diberi kesempatan menunjuk salah satu temannya menjawab soal nomor berikutnya yaitu soal nomor 2. Seandainya, siswa yang pertama mendapat kesempatan menjawab soal nomor 1 gagal maka siswa itu diharuskan menjawab soal berikutnya dan seterusnya hingga siswa tersebut berhasil menjawab benar item soal pada suatu nomor soal tertentu.
Jika mencermati mekanisme metode snowball drilling terlihat bahwa metode itu menuntut perhatian tinggi dari siswa. Seorang siswa pada suatu giliran menjawab soal-soal yang belum terjawab benar pada putaran sebelumnya dapat membuat kesalahan yang sama seperti yang dilakukan temannya pada putaran sebelumnya. Kesalahan tidak akan terulang jika siswa itu memperhatikan teman-temannya yang menjawab soal pada putaran sebelumnya. Proses interaksi pembelajaran seperti itu mempunyai implikasi sosial. Metode snowball drilling secara sosial berimplikasi pada tumbuhnya sikap kooperatif.
4. Make A Match
Langkah-langkah :
1. Bagilah siswa menjadi 3 kelompok yaitu kelompok pemegang kartu jawaban, kelompok pemegang kartu pertanyaan, dan kelompok penilai.
2. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban
3. Setiap mendapat satu buah kartu
4. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang
5. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
6. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin
7. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya
8. Dalam waktu yang sudah ditentukan dan siswa telah mendapat pasangan, maka akrtu pertanyaan dan jawaban ditunjukkan kepada kelompok penilai. Kelompok penilai akan memberikan penilaian. Dalam hal ini ada dua kemungkinan yang terjadi pada kelompok penilai karena kelompok penilai juga belum tahu jawaban yang pasti bisa jadi kelompok penilai menilai salah pada pasangan yang telah matching antara jawaban dan pertanyaan, dan sebaliknya.
9. Guru memberi ulasan atas pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan mealui metode make a match.
This blog contains about Modern Learning Model. Actually the article in it is the adaptation of my coursework with the task of my classmates. I hope the writing on the blog could be useful for education in Indonesia. salutation of one soul, Ahmad Nurhidayat.
Jumat, 11 Februari 2011
MODEL PEMBELAJARAN PAKEM I
Diantara model pembelajaran PAKEM antara lain :
1. Listening Team
2. Point Conterpoint
Bagaimana 2 model pembelajaran PAKEM ini dijalankan, selamat membaca
1. Listening Team
Langkah-langkah metode tim pendengar:
1. Bagilah peserta didik menjadi 4 team dan berilah team-team ini dengan tugas-tugas sebagai berikut:
Team Peran Tugas
A Penanya Merumuskan pertanyaan
B Pendukung Menjawab pertanyaan yang didasarkan pada poin-poin yang disepakati (membantu dan menjelaskannya, mengapa demikian
C Penentang Mengutarakan poin-poin yang tidak disetujui atau tidak bermanfaat dan menjelaskan mengapa demikian
D Penarik Kesimpulan Menyimpulkan hasil
b. Penyaji memaparkan laporan hasil penelitiannya, setelah selesai beri waktu kepada tiap kelompok untuk menyelesaikan tugas sesuai dengan perannya masing-masing.
2. Point-Counterpoint
Langkah-langkah metode pembelajaran point-counterpoint adalah:
1. Pilihlah isu-isu yang mempunyai beberapa perspektif
2. Bagilah siswa ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan jumlah perspektif yang telah ditentukan.
3. Minta masing-masing kelompok menyiapkan argumen-argumen sesuai dengan pandangan kelompok yang diwakili. Dalam aktivitas ini, pisahlah tempat duduk masing-masing kelompok.
4. Kumpulkan kembali semua siswa dengan catatan, siswa duduk berdekatan dengan teman-teman satu kelompok.
5. Mulai debat dengan mempersilakan kelompok mana saja yang akan memulai.
6. Setelah salah seorang siswa menyampakan satu argumen sesuai dengan pandangan kelompoknya, mintalah tanggapan, bantahan atau koreksi dari kelompok lain perihal issu yang sama.
7. Lanjutkan proses ini sampai waktu yang memungkinkan.
8. Rangkum debat yang baru saja dilaksanakan dengan menggarisbawahi atau mungkin mencari titik temu dari argumen-argumen yang muncul.
Selamat mencoba ya…
1. Listening Team
2. Point Conterpoint
Bagaimana 2 model pembelajaran PAKEM ini dijalankan, selamat membaca
1. Listening Team
Langkah-langkah metode tim pendengar:
1. Bagilah peserta didik menjadi 4 team dan berilah team-team ini dengan tugas-tugas sebagai berikut:
Team Peran Tugas
A Penanya Merumuskan pertanyaan
B Pendukung Menjawab pertanyaan yang didasarkan pada poin-poin yang disepakati (membantu dan menjelaskannya, mengapa demikian
C Penentang Mengutarakan poin-poin yang tidak disetujui atau tidak bermanfaat dan menjelaskan mengapa demikian
D Penarik Kesimpulan Menyimpulkan hasil
b. Penyaji memaparkan laporan hasil penelitiannya, setelah selesai beri waktu kepada tiap kelompok untuk menyelesaikan tugas sesuai dengan perannya masing-masing.
2. Point-Counterpoint
Langkah-langkah metode pembelajaran point-counterpoint adalah:
1. Pilihlah isu-isu yang mempunyai beberapa perspektif
2. Bagilah siswa ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan jumlah perspektif yang telah ditentukan.
3. Minta masing-masing kelompok menyiapkan argumen-argumen sesuai dengan pandangan kelompok yang diwakili. Dalam aktivitas ini, pisahlah tempat duduk masing-masing kelompok.
4. Kumpulkan kembali semua siswa dengan catatan, siswa duduk berdekatan dengan teman-teman satu kelompok.
5. Mulai debat dengan mempersilakan kelompok mana saja yang akan memulai.
6. Setelah salah seorang siswa menyampakan satu argumen sesuai dengan pandangan kelompoknya, mintalah tanggapan, bantahan atau koreksi dari kelompok lain perihal issu yang sama.
7. Lanjutkan proses ini sampai waktu yang memungkinkan.
8. Rangkum debat yang baru saja dilaksanakan dengan menggarisbawahi atau mungkin mencari titik temu dari argumen-argumen yang muncul.
Selamat mencoba ya…
Selasa, 25 Januari 2011
COOPERATIVE LEARNING-TEKNIK JIGSAW
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkatn aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran ekonomi. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.
Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
Pembelajaran kooperatif terutama teknik Jigsaw dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia karena sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw dalam Pembelajaran”.
PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TEKNIK JIGSAW
A. Pembelajaran Cooperative Learning
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :
1. Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
2. Tanggung jawab perseorangan.
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
3. Tatap muka.
Dalam pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
5. Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
B. Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
1. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
C. Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
• Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
• Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
• Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
• Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
• Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
• Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
5. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2. Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
5. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran ekonomi. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.
Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
Pembelajaran kooperatif terutama teknik Jigsaw dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia karena sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw dalam Pembelajaran”.
PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TEKNIK JIGSAW
A. Pembelajaran Cooperative Learning
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :
1. Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
2. Tanggung jawab perseorangan.
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
3. Tatap muka.
Dalam pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
5. Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
B. Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
1. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
C. Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
• Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
• Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
• Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
• Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
• Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
• Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
5. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2. Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
5. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
EVALUASI PROGRAM PEMBELAJRAN DI SEKOLAH DASAR
Bagi seorang guru, istilah evaluasi baik merupakan evaluasi proses dan hasil belajar maupun evaluasi program, bukanlah suatu yang asing. Evaluasi proses dan hasil belajar dilakukan guru sebagai bagian dari tugas mengajarnya. Bahkan secara khusus, seorang guru, termasuk guru SD dipersyaratkan menguasai kompetensi menilai proses dan hasil belajar siswa, serta menindaklajuti hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran. Dalam kompetensi tersebut tersirat bahwa guru seyogyanya juga mampu melakukan evaluasi program pembelajaran, meskipun secara eksplisit guru tidak menyadari bahwa ia melakukan evaluasi program pembelajaran tersebut.
Kegiatan belajar ini akan mengajak kita untuk mengkaji hakikat dan potret evaluasi program pembelajaran di SD. Hakikat evaluasi program pembelajaran akan mencangkup pengertian, tujuan dan manfaat melakukan evaluasi program pembelajaran, serta bagaimana cara melakukan evaluasi program pembelajaran. Sementara itu, potret evaluasi program pembelajan di SD akan mencangkup bergbagai potret kondisi nyata evaluasi program pembelajaran di SD.
Pada dasarnya, evaluasi program adalah pendekatan formal yang digunakan untuk menilai kebijakan, pekerjaan atau suatu program tertentu. Misalnya, kebijakan pemerintah mengganti bahan bakar minyak dengan gas, kebijakan yang melahirkanprogram asuransi kesehatan untuk rakyat miskin, atau program wajib belajar. Contoh-contoh tersebut adalah program yang cukup besar, sedangkan program yang sederhana memerlukan evaluasi program meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Sebagai satu pendekatan formal yang sistematis, evaluasi program sering disebut sebagai menelitian evaluasi, yaitu penelitian yang hasilnya digunakan untuk mengambil keputusan, misalnya untuk merancang perbaikan, melanjutkan program, ataukah menghentikan program.
Sebagaimana sudah diuraikan diatas, evaluasi program banyak digunakan dalam berbagai sektortermasuk dalam bidang pendidikan. Jika pemerintah melancarkan satu program, misalnya program pemberantasan buta aksara, tentu dalan jangka wwaktu tertentu perlu dilihat bagaimana dampak program tersebut terhadap jumlah buta aksara di daerah berlangsungnya program. Jenis dan proses penilaian yang dilakukan tergantung dari pendekatan atau model yang diterapkan. Salah stu model yang cukup baik adalah model CIPP, yang merupakan singkatan dari context, input, process dan product. Context terkait dengan lingkungan tempat program beroperasi, seperti karakteristik masyarakat tempat berlangsungnya program pemberantasan buta aksara (PBA), input terkait dengan masukan yang akan berperan dalam proses PBA, seperti peserta PBA, tutor, kurikulum, fasilitas, process disini dimaksudkan pelaksanaan program dan product adaah produk yang dihasilkan oleh program, dalam contoh ini jumlah peserta yang berhasil menjadi melek aksara. Dengan demikian, informasi harus dikumpulkan dari berbagai komponen program, sesuai dengan model yang diterapkan.
Salah satu program pendidikan yang juga sangat perlu dinilai adalah program pembelajaran. Jika kita berbicara tentang evaluasi program pembelajaran, maka yang dievaluasi adalah berbagai komponen program pembelajaran. Jika model CIPP diterapkan pada evaluasi program pembelajaran, maka yang menjadi sasaran penilaian adalah seluruh aspek program pembelajaran, mulai dari lingkungan pembelajaran sebagai context, kurikulim, silabus, perencanaan pembelajaran, buku-buku, fasilitas/ atau alat peraga, guru, siswa sebagai input, pelaksanaan pembelajaran sebagai process, dan hasih belajar siswa sebagai product. Dalam evaluasi program pembelajaran, context yang dinilai adalah lingkungan belajar yang mencangkup suasana sekitar ruang pembelajaran, seperti kenyamanan atau sikap masyarakat sekitar terhadap pembelajaran. Sedangkan sebagai input yang dinilai adalah rencana pembelajaran yang dibuat guru, buku pelajaran dan sumber lain beserta media yang digunakan, kemampuan dan motivasi siswa, serta kemampuan guru. Selanjutnya, proses pembelajaran, penilaian, penilaian proses dan hasil belajar siswa serta tindak lanjutnya, juga harus ditelaah secara cermat, jika benar-benar evaluasi program pembelajaran yang lengkap dan komprehensif hendak dilakukan.
Setelah membahas tentang apa itu evaluasi program dan evaluasi program pembelajaran, tiba saatnya kita mengkaji mengapa evaluasi program pembelajaran itu dilakukan. Coba kita pikirkan, mengapa kita perlu melakukan evaluasi program pembelajaran. Jawabannya tentu sangat bervariasi. Misalnya, untuk mengetahui apakah cara mengajar guru memudahkan siswa belajar, apakah alat peraga yang digunakan membantu pemahaman siswa, bagaimana hasil belajar siswa, yang semua itu mengarah kepada kelemahan dan kekuatan progam pembelajaran tersebut. Apakah hanya berhenti sampai disitu? Tentu tidak. Hasil evaluasi program haruslah ditindaklanjuti, sehingga kelemahan yang ditemukan dapat diperbaiki dan kekutan yang diidentifikasi dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
Bagaimana kalau evaluasi program pembelajaran tidak pernah dilakukan? Apa yang akan terjadi? Kita pasti dapat merinci kerugiannya. Pertama, guru dan sekolah tidak pernah tahu kualitas program pembelajaran yang ditawarkannya kepada masyarakat. Jika kualitas program tersebut rendah atau jelek, tidak pernah ada upayaperbaikan dilakukan. Jika pun ada upaya untuk meningkatkan kualitas program pembelajaran, upaya tersebut hanya berlangsung secara insidental, tidak secara sistematis. Kedua, budaya untuk melakukan perbaikan secara sistematis tidak pernah terjadi karena tidak pernah tersedia informasi yang dapat dijadikan dasar untuk perbaikan. Ketiga, para guru tidak tertantang untuk mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan, mereka hanya bekerja secara rutinitas, satu hal yang sangat bertentangan dengan profesionalitas jabatan guru. Keempat, para siswa akan belajar secara rutin karena tidak pernah ada upaya perbaikan sistematis yang dilakukan. Siswa mungkin tidak akan menganggap pembelajaran sebagai sesuatu yang menantang karea selalu berlangsung dengan cara yang sama. Kita barangkali dapat menambah daftar kerugian yang akan terjadi jika evaluasi program evaluasi pembelajran tidak pernah dilakukan.
Setelah mengkaji berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh absennya evaluasi program pemelajaran di sekolah, kita tentu dapat memikirkan apa tujuan dan manfaat evaluasi program tersebut. Coba cocokkan buah pikiran kita dengan uraian berikut.
Di atas sudah dibayangkan bahwa secara umum tujuan evaluasi program pembelajaran adalah untuk mengetahui kualitas program pembelajaran, termasuk untuk mengkaji kekuatan dan kelemahannya. Secara lebih khusus, tujuan evaluasi program pembelajaran antara lain adalah untuk mengetahui apakah :
1. Lingkungan sekolah menunjang terjadinya pembelajaran
2. Rencana pembelajaran yang dibuat guru dapat dilaksanakan.
3. Siswa terlibat secara aktif dalam pembelajara.
4. Guru menunjukkan semangat dalam pembelajaran.
5. Penilaian proses pembelajaran dilakukan secara sistematis.
6. Hasil belajar siswa memenuhi harapan guru.
Tentu masih banyak tujuan khusus yang dapat dirumuskan ketika guru akan melakukan evaluasi program pembelajaran. Coba kita rinci tujuan khusus lain yang berbeda dari yang dicantumkan di atas jika akan melakukan evaluasi program pembelajaran.
Sejalan dengan tujuan evaluasi program yang telah dikaji di atas, kita tentu dapat menemukan manfaat evaluasi program pembelajaran bagi siswa, guru, sekolahan dan masyarakat.
Sebenarnya siapa yang melakukan evaluasi program pembelajaran tersebut dan kapan seyogyanya evaluasi tersebut dilakukan? Secara formal, semestinya evaluasi program dilakukan oleh orang luar yang kompeten, agar penilaian tersebut menjadi lebih objektif. Misalnya, evaluasi program Managing Basic Education (MBE), yang dilakukan oleh sat tim evaluasi untuk menilai pelaksanaan dan dampak MBE, yang hasilya akan digunakan untuk membuat rekomendasi bagi kegiatan USAID ke depan. Namun apakah evaluasi program pembelajaran juga harus dilakukan oleh orang luar? Coba kita pikirkan sejenak, sebelum membaca uraian berikut.
Hasil evaluasi program yang dilakukan melalui pendekatan penelitian formal biasanya baru diketahui setela beberapa lama, sehingga perbaikan yang didasarkan pada hasil tersebut tidak dapat dilakukan segera. Penyelenggara program pembelajaran adalah guru, yang setiap saat memerlukan informasi tentang pembelajaran yang dikelolanya. Di lingkungan SD, mungkin istilah evaluasi program pembelajaran belum terlalu populer. Namun, istilah penelitian tindakan kelas (PTK) yang memungkinkan guru menjadi peneliti dan sekaligus pengajar sudah sangat dikenal oleh para guru SD. Guru yang sekaligus berperan sebagai peneliti dapat melaksanakan studi sendiri untuk memperbaiki pembelajaran yang dikelolanya, sebagaimana diungkapkan oleh Cresswell dalam bukunya Santrock. Hal ini merupakan perkembangan penting dari PTK, dan dipercaya oleh pakar pendidikan akan meningkatkan peran guru dalam memperbaiki daya bagi sekolahan untuk meningkatkan diri.
Pada dasarnya evaluasi program di tingkat kelas dapat dilakukan oleh guru sendiri, yang tentu saja dapat berkolaborasi dengan teman sejawat, bahkan dengan dosen lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Hasilnya akan langsung dimanfaatkan oleh guru untuk melakukan perbaikan secara bekelanjutan. Sehubungan dengan itu, proses evaluasi program yang dilakukan oleh guru dapat terjadi secara teratur setiap akhir pelajaran.
Di tingkat sekolah, evaluasi program pembelajran secara keseluruhan dapat dilakukan secara periodik. Misalnya, setiap akhir semester. Untuk tujuan tersebut, sekolah dapat membentuk tim penilai yang juga melibatkan Komite Sekolah. Hasil evaluasi program yang dilakukan oleh sekolah ini dimanfaatkan untuk perbaikan dalam berbagai bidang, termasuk dalam pembelajaran.
Evaluasi program yang dilakukan guru harus diawali dengan keinginan untuk mengkaji ulang apa yang terjadi selama pembelajaran. Guru mengingat berbagai peristiwa yang terjadi, mempertanyakan mengapa itu terjadi, dan apa dampak peristiwa itu bagi kelas. Inilah yang disebut sebagai refleksi. Kemampuan dan kejujuran dalam melakukan refleksi sebenarnya dapat dikatakan merupakan kunci dari guru mengenal kualitas kinerjanya sendiri. Dengan demikian, pembelajaran yang dikelolanyan menjadi suatu yang dinamis, yang selalu diperbaiki berdasarkan informasi yang akurat yang diperoleh guru melalui kemampuan melakukan refleksi tersebut. Kesedian untuk menjawab pertanyaan sendiri secara jujur, mempertanyakan jawaban, dan mempertanyakan pertanyaan merupakan kepedulian dari orang-orang yang terdidik. Inilah yang disebut oleh Houston sebagai reflective inquiry. Itulah secara sederhana cara melakukan evaluasi program pembelajran, yang dapat dilakukan oleh guru setiap hari. Sedangkan evaluasi program pembelajaran di satu SD yang dilakukan oleh satu tim setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran, tentu harus dimulai dengan perencanaan yang matang, yang mencangkup tujuan evaluasi, desaign evaluasi, khususnya bagaimana informasi akan dikumpulkan, diolah dan sebagainya.
Kegiatan belajar ini akan mengajak kita untuk mengkaji hakikat dan potret evaluasi program pembelajaran di SD. Hakikat evaluasi program pembelajaran akan mencangkup pengertian, tujuan dan manfaat melakukan evaluasi program pembelajaran, serta bagaimana cara melakukan evaluasi program pembelajaran. Sementara itu, potret evaluasi program pembelajan di SD akan mencangkup bergbagai potret kondisi nyata evaluasi program pembelajaran di SD.
Pada dasarnya, evaluasi program adalah pendekatan formal yang digunakan untuk menilai kebijakan, pekerjaan atau suatu program tertentu. Misalnya, kebijakan pemerintah mengganti bahan bakar minyak dengan gas, kebijakan yang melahirkanprogram asuransi kesehatan untuk rakyat miskin, atau program wajib belajar. Contoh-contoh tersebut adalah program yang cukup besar, sedangkan program yang sederhana memerlukan evaluasi program meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Sebagai satu pendekatan formal yang sistematis, evaluasi program sering disebut sebagai menelitian evaluasi, yaitu penelitian yang hasilnya digunakan untuk mengambil keputusan, misalnya untuk merancang perbaikan, melanjutkan program, ataukah menghentikan program.
Sebagaimana sudah diuraikan diatas, evaluasi program banyak digunakan dalam berbagai sektortermasuk dalam bidang pendidikan. Jika pemerintah melancarkan satu program, misalnya program pemberantasan buta aksara, tentu dalan jangka wwaktu tertentu perlu dilihat bagaimana dampak program tersebut terhadap jumlah buta aksara di daerah berlangsungnya program. Jenis dan proses penilaian yang dilakukan tergantung dari pendekatan atau model yang diterapkan. Salah stu model yang cukup baik adalah model CIPP, yang merupakan singkatan dari context, input, process dan product. Context terkait dengan lingkungan tempat program beroperasi, seperti karakteristik masyarakat tempat berlangsungnya program pemberantasan buta aksara (PBA), input terkait dengan masukan yang akan berperan dalam proses PBA, seperti peserta PBA, tutor, kurikulum, fasilitas, process disini dimaksudkan pelaksanaan program dan product adaah produk yang dihasilkan oleh program, dalam contoh ini jumlah peserta yang berhasil menjadi melek aksara. Dengan demikian, informasi harus dikumpulkan dari berbagai komponen program, sesuai dengan model yang diterapkan.
Salah satu program pendidikan yang juga sangat perlu dinilai adalah program pembelajaran. Jika kita berbicara tentang evaluasi program pembelajaran, maka yang dievaluasi adalah berbagai komponen program pembelajaran. Jika model CIPP diterapkan pada evaluasi program pembelajaran, maka yang menjadi sasaran penilaian adalah seluruh aspek program pembelajaran, mulai dari lingkungan pembelajaran sebagai context, kurikulim, silabus, perencanaan pembelajaran, buku-buku, fasilitas/ atau alat peraga, guru, siswa sebagai input, pelaksanaan pembelajaran sebagai process, dan hasih belajar siswa sebagai product. Dalam evaluasi program pembelajaran, context yang dinilai adalah lingkungan belajar yang mencangkup suasana sekitar ruang pembelajaran, seperti kenyamanan atau sikap masyarakat sekitar terhadap pembelajaran. Sedangkan sebagai input yang dinilai adalah rencana pembelajaran yang dibuat guru, buku pelajaran dan sumber lain beserta media yang digunakan, kemampuan dan motivasi siswa, serta kemampuan guru. Selanjutnya, proses pembelajaran, penilaian, penilaian proses dan hasil belajar siswa serta tindak lanjutnya, juga harus ditelaah secara cermat, jika benar-benar evaluasi program pembelajaran yang lengkap dan komprehensif hendak dilakukan.
Setelah membahas tentang apa itu evaluasi program dan evaluasi program pembelajaran, tiba saatnya kita mengkaji mengapa evaluasi program pembelajaran itu dilakukan. Coba kita pikirkan, mengapa kita perlu melakukan evaluasi program pembelajaran. Jawabannya tentu sangat bervariasi. Misalnya, untuk mengetahui apakah cara mengajar guru memudahkan siswa belajar, apakah alat peraga yang digunakan membantu pemahaman siswa, bagaimana hasil belajar siswa, yang semua itu mengarah kepada kelemahan dan kekuatan progam pembelajaran tersebut. Apakah hanya berhenti sampai disitu? Tentu tidak. Hasil evaluasi program haruslah ditindaklanjuti, sehingga kelemahan yang ditemukan dapat diperbaiki dan kekutan yang diidentifikasi dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
Bagaimana kalau evaluasi program pembelajaran tidak pernah dilakukan? Apa yang akan terjadi? Kita pasti dapat merinci kerugiannya. Pertama, guru dan sekolah tidak pernah tahu kualitas program pembelajaran yang ditawarkannya kepada masyarakat. Jika kualitas program tersebut rendah atau jelek, tidak pernah ada upayaperbaikan dilakukan. Jika pun ada upaya untuk meningkatkan kualitas program pembelajaran, upaya tersebut hanya berlangsung secara insidental, tidak secara sistematis. Kedua, budaya untuk melakukan perbaikan secara sistematis tidak pernah terjadi karena tidak pernah tersedia informasi yang dapat dijadikan dasar untuk perbaikan. Ketiga, para guru tidak tertantang untuk mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan, mereka hanya bekerja secara rutinitas, satu hal yang sangat bertentangan dengan profesionalitas jabatan guru. Keempat, para siswa akan belajar secara rutin karena tidak pernah ada upaya perbaikan sistematis yang dilakukan. Siswa mungkin tidak akan menganggap pembelajaran sebagai sesuatu yang menantang karea selalu berlangsung dengan cara yang sama. Kita barangkali dapat menambah daftar kerugian yang akan terjadi jika evaluasi program evaluasi pembelajran tidak pernah dilakukan.
Setelah mengkaji berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh absennya evaluasi program pemelajaran di sekolah, kita tentu dapat memikirkan apa tujuan dan manfaat evaluasi program tersebut. Coba cocokkan buah pikiran kita dengan uraian berikut.
Di atas sudah dibayangkan bahwa secara umum tujuan evaluasi program pembelajaran adalah untuk mengetahui kualitas program pembelajaran, termasuk untuk mengkaji kekuatan dan kelemahannya. Secara lebih khusus, tujuan evaluasi program pembelajaran antara lain adalah untuk mengetahui apakah :
1. Lingkungan sekolah menunjang terjadinya pembelajaran
2. Rencana pembelajaran yang dibuat guru dapat dilaksanakan.
3. Siswa terlibat secara aktif dalam pembelajara.
4. Guru menunjukkan semangat dalam pembelajaran.
5. Penilaian proses pembelajaran dilakukan secara sistematis.
6. Hasil belajar siswa memenuhi harapan guru.
Tentu masih banyak tujuan khusus yang dapat dirumuskan ketika guru akan melakukan evaluasi program pembelajaran. Coba kita rinci tujuan khusus lain yang berbeda dari yang dicantumkan di atas jika akan melakukan evaluasi program pembelajaran.
Sejalan dengan tujuan evaluasi program yang telah dikaji di atas, kita tentu dapat menemukan manfaat evaluasi program pembelajaran bagi siswa, guru, sekolahan dan masyarakat.
Sebenarnya siapa yang melakukan evaluasi program pembelajaran tersebut dan kapan seyogyanya evaluasi tersebut dilakukan? Secara formal, semestinya evaluasi program dilakukan oleh orang luar yang kompeten, agar penilaian tersebut menjadi lebih objektif. Misalnya, evaluasi program Managing Basic Education (MBE), yang dilakukan oleh sat tim evaluasi untuk menilai pelaksanaan dan dampak MBE, yang hasilya akan digunakan untuk membuat rekomendasi bagi kegiatan USAID ke depan. Namun apakah evaluasi program pembelajaran juga harus dilakukan oleh orang luar? Coba kita pikirkan sejenak, sebelum membaca uraian berikut.
Hasil evaluasi program yang dilakukan melalui pendekatan penelitian formal biasanya baru diketahui setela beberapa lama, sehingga perbaikan yang didasarkan pada hasil tersebut tidak dapat dilakukan segera. Penyelenggara program pembelajaran adalah guru, yang setiap saat memerlukan informasi tentang pembelajaran yang dikelolanya. Di lingkungan SD, mungkin istilah evaluasi program pembelajaran belum terlalu populer. Namun, istilah penelitian tindakan kelas (PTK) yang memungkinkan guru menjadi peneliti dan sekaligus pengajar sudah sangat dikenal oleh para guru SD. Guru yang sekaligus berperan sebagai peneliti dapat melaksanakan studi sendiri untuk memperbaiki pembelajaran yang dikelolanya, sebagaimana diungkapkan oleh Cresswell dalam bukunya Santrock. Hal ini merupakan perkembangan penting dari PTK, dan dipercaya oleh pakar pendidikan akan meningkatkan peran guru dalam memperbaiki daya bagi sekolahan untuk meningkatkan diri.
Pada dasarnya evaluasi program di tingkat kelas dapat dilakukan oleh guru sendiri, yang tentu saja dapat berkolaborasi dengan teman sejawat, bahkan dengan dosen lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Hasilnya akan langsung dimanfaatkan oleh guru untuk melakukan perbaikan secara bekelanjutan. Sehubungan dengan itu, proses evaluasi program yang dilakukan oleh guru dapat terjadi secara teratur setiap akhir pelajaran.
Di tingkat sekolah, evaluasi program pembelajran secara keseluruhan dapat dilakukan secara periodik. Misalnya, setiap akhir semester. Untuk tujuan tersebut, sekolah dapat membentuk tim penilai yang juga melibatkan Komite Sekolah. Hasil evaluasi program yang dilakukan oleh sekolah ini dimanfaatkan untuk perbaikan dalam berbagai bidang, termasuk dalam pembelajaran.
Evaluasi program yang dilakukan guru harus diawali dengan keinginan untuk mengkaji ulang apa yang terjadi selama pembelajaran. Guru mengingat berbagai peristiwa yang terjadi, mempertanyakan mengapa itu terjadi, dan apa dampak peristiwa itu bagi kelas. Inilah yang disebut sebagai refleksi. Kemampuan dan kejujuran dalam melakukan refleksi sebenarnya dapat dikatakan merupakan kunci dari guru mengenal kualitas kinerjanya sendiri. Dengan demikian, pembelajaran yang dikelolanyan menjadi suatu yang dinamis, yang selalu diperbaiki berdasarkan informasi yang akurat yang diperoleh guru melalui kemampuan melakukan refleksi tersebut. Kesedian untuk menjawab pertanyaan sendiri secara jujur, mempertanyakan jawaban, dan mempertanyakan pertanyaan merupakan kepedulian dari orang-orang yang terdidik. Inilah yang disebut oleh Houston sebagai reflective inquiry. Itulah secara sederhana cara melakukan evaluasi program pembelajran, yang dapat dilakukan oleh guru setiap hari. Sedangkan evaluasi program pembelajaran di satu SD yang dilakukan oleh satu tim setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran, tentu harus dimulai dengan perencanaan yang matang, yang mencangkup tujuan evaluasi, desaign evaluasi, khususnya bagaimana informasi akan dikumpulkan, diolah dan sebagainya.
Langganan:
Postingan (Atom)